Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin رحمه الله pernah ditanya:
“Apa hukum berpuasa tapi meninggalkan shalat?”
Syaikh menjawab:
Meninggalkan shalat puasanya tidaklah sah dan tidak diterima, karena meninggalkan shalat hukumnya kafir murtad. Berdasarkan firman Allah
” Perjanjian yang ada di antara kita dan mereka (orang-orang kafir) adalah shalat. Barangsiapa meninggalkannya berarti kafir.” (HR. An-Nasa-i no. 463)
Dan sungguh ini merupakan keumuman perkataan para sahabat, walaupun tidak ijma dari mereka. Berkata Abdullah bin Syaqiq – rahimahullaah- dia adalah tabi’in yang dikenal bahwa para sahabat Nabi ﷺ tidak memandang sesuatu pun dari amalan yang meninggalkan amalan tersebut menjadi kafir melainkan shalat (tidak ada amalan ibadah yang ditinggalkan dapat menyebabkan kafir kecuali shalat)
Dan atas hal ini apabila seorang berpuasa dan dia meninggalkan shalat, maka puasanya tertolak tidak diterima. Tidak ada manfaat baginya di sisi Allah pada hari kiamat.
Dan kami katakan kepadanya (orang yang puasa tapi ga sholat), sholatlah kemudian puasalah. Apabila anda berpuasa dan tidak sholat, maka puasa anda tertolak, karena orang yang kafir tidak diterima ibadah darinya.
Referensi
Majmuu’ Fatawaa wa Rasaail al-utsaimin, hal. 87-88
Hal ini selaras dengan salah satu pendapat dalam mazhab Syafi’i dan mazhab imam Hanbali
Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang bertaqwa, yang kaya dan yang menyembunyikan diri. (HR. Muslim no. 2965)
Syaikh Shalih Fauzan menjelaskan bahwasanya sifat yg pertama yg disebutkan ialah yang bertaqwa. Taqwa kepada Allah ialah menjalankan segala perintahnya karena mengharapkan ganjaran pahala, dan meninggalkan segala apa yg dilarang oleh-Nya karena takut dari siksa adzab-Nya.
Allah ta’ala mencintai hamba-hamba Nya yang bertaqwa, sebagaimana disebut dalam Al-Qur’an,
إن الله يحب المتقين
Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yg bertaqwa (At-Taubah: 4)
Sifat yg kedua ialah orang yg kaya. Kekayaan yg dimaksud ialah kayanya hati atau hati yg kaya, merasa puas terhadap apa yg Allah telah berikan rizqi dirinya, tidak tamak dan rakus.
Nabi ﷺ bersabda,
ليس الغنى عن كثرة العرض، و لكن الغنى غنى القلب
Bukanlah kekayaan itu dari banyaknya harta benda, akan tetapi kekayaan yg sesungguhnya ialah kayanya hati. (HR. Bukhori no. 6446, Muslim no. 1051)
Oleh karena itu, didapati sebagian manusia dirinya kaya meskipun hartanya sedikit. Apabila dia mendapat rezeki maka dia qona’ah.
Dan sebagian manusia juga memiliki hati yg faqir meskipun di sisinya dia memiliki harta dunia.
Sifat yg ketiga ialah yg tersembunyi maksudnya tidak suka menampakkan amal di hadapan manusia, dia menyembunyikan amalannya, dia merahasiakannya karena Allah ta’ala, tidak menyukai pujian dan tidak pula menyukai sanjungan. Dan dia sangat menyukai keridhoan Allah dan segala hal yang mendekatkan dia untuk mendapatkan keridhoan Allah.
Di dalam hadits ini menyebutkan keutamaan dari tiga sifat, orang yg bertaqwa, orang yg kaya hati, dan orang yg zuhud terhadap pujian dan sanjungan manusia, tidak mementingkan pujian atau sanjungan manusia, karena yg dipentingkan hanyalah keridhoan Allah. Bahkan seandainya para manusia marah atau benci dan mencelanya, maka dia tidak mempedulikannya.
(It-haaful Kiraam bisyarhi kitaabil jami’, Cet. Dar al majid, hal. 127-128)
Mentaati suami merupakan hal yang wajib bagi seorang istri dalam perkara yang tidak bertentangan dengan syariat Islam. Bahkan seorang ulama mengatakan,
إنّ طاعة الزوج مقدمة على طاعة الوالدين
“Sesungguhnya ketaatan kepada suami itu lebih didahulukan/ diutamakan daripada ketaatan kepada kedua orang tua”
Oleh karena itu, hak suami bagi seorang istri dalam mentaati suami lebih didahulukan daripada hak ketaatannya seorang istri kepada kedua orang tua.
Para ulama menyebutkan
فإذا أمرها زوجها بشيء ليس معصية و أمرها أبوها بشيء ليس معصية يجب عليها أن تطيع زوجها حتى لو منعها من زيارة أهلها وهو لا يجوز له لكن يجب عليها أن تطيعه
Apabila seorang suami memerintahkan kepada seorang istri suatu hal yang bukan kemaksiatan dan bapaknya menmerintahkan suatu hal yang bukan kemaksiatan juga, maka wajib bagi seorang istri mentaati suaminya. Bahkan, seandainya seorang suami mencegah istrinya untuk mengunjungi keluarganya (kedua orang tua) yang mana hal tersebut tidak baik bagi seorang suami, maka tetap wajib bagi seorang istri untuk mentaati suaminya.
“maka wanita yang salehah, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar” (An-Nisa: 34)
Sisi pendalilan ketaatan seorang istri kepada suami di dalam ayat ini terdapat pada tiga sisi:
1. Al-qonitah ( القانتة ) yang disebutkan di dalam ayat ialah seorang yg mentaati suaminya. Sebagaimana yg dijelaskan oleh Ibnu Abbas رضي الله عنه dan selainnya dari para ulama salaf.
2. Allah عز و جل memperbolehkan seorang suami apabila khawatir terhadap istrinya bersikap nusyuz diperbolehkan bagi suami menasihati istri. Apabila tidak berubah juga maka mendiamkan memisahkan tempat tidurnya. Apabila tidak berubah juga maka diperbolehkan memukulnya. Akan tetapi, bukan pukulan yang kuat.
3. Firman Allah عز و جل pada potongan ayat di atas
“Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya”
Hal ini menunjukkan bahwa wajibnya ketaatan seorang istri kepada suaminya. Apabila seorang istri tidak taat kepada suami maka diperbolehkan bagi suami untuk memberikan kesulitan kepada sang istri.
إذا صلَّت المرأةُ خمسَها وصامت شهرَها وحفِظت فرجَها وأطاعت زوجَها قيل لها ادخُلي الجنَّةَ من أيِّ أبوابِ الجنَّةِ شئتِ
“Apabila seorang istri melaksanakan shalat lima waktu, puasa ramadhan, menjaga kemaluannya (tidak berzina), dan mentaati suaminya. Maka dikatakan kepadanya (di akhirat kelak) masuklah engkau ke dalam surga dari pintu surga mana saja yang engkau kehendaki” (HR. Ahmad, Ibnu Hibban, Thabrani)
Di dalam hadits ini disebutkan perkara-perkara perintah yang diwajibkan di antara shalat lima waktu, puasa ramadhan, tidak berzina. Maka mentaati suami juga menjadi perkara yang wajib.
Kemudian telah disebutkan juga ancaman bagi seorang istri yang tidak mentaati suaminya. Hadits dari Ibnu Umar رضي الله عنه
اثنانِ لا تُجَاوِزُ صلاتُهما رؤوسَهُما : عَبدٌ أبَقَ من مَواليه حتَّى يرجعَ ، وامرأةٌ عصَت زوجَها حتَّى ترجِعَ
“Dua orang yang shalatnya tidak terangkat, yaitu budak yang lari dari tuannya hingga dia kembali, dan seorang istri yang durhaka kepada suaminya hingga dia kembali (taat kepada suami)” (HR. Thabrani dam Hakim)
Shalat seorang tidak akan sah apabila tidak menegakkan salah satu dari rukun shalat yang ada. Salah satu rukun shalat yang disebutkan di dalam kitab-kitab fiqih ialah membaca surat Al-Fatihah. Oleh sebab itu, sudah sepatutnya seorang memperhatikan surat Al-Fatihah yang akan dia baca. Di antara hal yang perlu diperhatikan ialah syarat-syarat di dalam membaca Al-Fatihah. Berikut ini merupakan syarat-syarat di dalam membaca Al-Fatihah:
1- التَّرْتِيْبُ
Tertib, membaca dari awal surat pertama Al-Fatihah yaitu dimulai dari بسم الله الرحمن الرحيم
2- الْمُوَالاَةُ
al-Muwaalah, membacanya tidak menyela di antara ayat Al-Fatihah dengan suatu kalimat. Adapun bacaan yang masih diperbolehkan untuk dibaca ialah: membaca aamiin, membaca ta’awudz ( أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ ), meminta rahmat, sujud tilawah, membetulkan bacaan imam.
3- مُرَاعَاةُ حُرُوْفِهَا
Menjaga huruf-hurufnya, tidak boleh kehilangan atau terluput satu meskipun satu huruf saja. Semisal huruf hamzah pada bacaan أنعمت, maka wajib mengulangi kalimat tersebut selama belum ruku’. Apabila tidak, maka sholatnya menjadi batal atau tidak sah.
4- مُرَاعَاةُ تَشْدِيْدَتِهَا
Menjaga tasydidnya, jika tidak dibaca huruf yang bertasydid maka menjadi batal bacaannya menjadi batal shalatnya. Namun, apabila bacaan atau huruf yang tidak bertasydid kemudian dibaca tasydid, maka tidak batal shalatnya. Kecuali apabila makna ayat menjadi berubah, maka menjadi batal secara mutlak.
5- أَنْ لاَ يَسْكُتَ سَكْتَةً طَوِيْلَةً، وَ لاَ قَصِيْرَةً يَقْصِدُ بِهَا قَطْعَ الْقِرَاءَةِ
Tidak berhenti dalam waktu yang lama atau sebentar dengan niatan memutus bacaan. Diam yang dibahas ini bermasalah jika sengaja tanpa ada uzur. Jika lupa, diam untuk mengingat ayat selanjutnya, atau karena gagap, maka diamnya masih diperbolehkan.
6- قِرَاءَةُ كُلِّ آيَاتِهَا، وَمِنْهَا الْبَسْمَلَةُ
Membaca seluruh ayatnya termasuk di antaranya basmalah.
7- عَدَمُ اللَّحْنِ الْمُخِلِّ بِالْمَعْنَى
Tidak adanya lahn (kesalahan) yang dapat merubah makna arti. Semisal AN’AMTA dibaca menjadi AN’AMTU atau AN’AMTI. Maka hal ini dapat merubah makna atau arti sehingga membatalkan shalat.
8- أَنْ تَكُوْنَ حَالَةَ الْقِيَامِ فِيْ الْفَرْضِ
Membaca dengan keadaan berdiri ketika shalat fardhu (wajib). Apabila ada kesulitan atau udzur tidak dapat berdiri, maka dibaca sesuai dengan kondisi saat itu.
9- أَنْ يُسْمِعَ نَفْسَهُ الْقِرَاءَةَ
dirinya sendiri dapat mendengar bacaannya. Hal ini jika tidak ada penghalang. Namun, jika ada penghalang, maka diangkat suaranya (sedikit dikeraskan) hingga sekiranya tidak ada penghalang niscaya ia dapat mendengarnya.
10- أَنْ لاَ يَتَخَلَّلَهَا ذِكْرٌ أَجْنَبِيٌّ
Tidak menyela dengan dzikir lainnya.
Penulis kita Nailur Rojaa-abisyarhi Safiinatun Najaa-a menjelaskan bahwasanya syarat-syarat yang disebutkan merupakan syarat keabsahan surat Al-Fatihah yang dibaca. Apabila salah satunya tidak ditunaikan, maka tidak sah bacaan Al-Fatihahnya. Selain itu terdapat dua tambahan syarat sahnya membaca Al-Fatihah, yaitu:
كونها بالعربية
Membacanya dengan lafazh arab, maka tidak boleh membacanya dengan bahasa terjemahan atau membaca artinya.
عدم الصرف
Niat membaca untuk sholat, tidak memalingkan niat kepada yang lain. Apabila membacanya ditujukan untuk wali fulan, maka bacaan Al-Fatihahnya haruslah diulang.
referensi Nailur Rojaa-abisyarhi Safiinatun Najaa-a, cet. Daar Adh-Dhiyaa-a, hal. 191
والله يا فلان ما يبغض ابن تيمية إلا جاهل أو صاحب هوى ؛ فالجاهل لا يدري ما يقول، وصاحب الهوى يصده هواه عن الحق بعد معرفته به
“Demi Allah, Wahai fulan, tidaklah (seorang) membenci Ibnu Taimiyyah kecuali seorang yang jahil (bodoh) atau pengekor hawa nafsu, orang yang bodoh tidak mengetahui apa yang dia katakan, adapun pengekor hawa nafsu maka hawa nafsunya telah menghalanginya dari kebenaran setelah dia mengetahuinya”. (Raddul-Wafir)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalaani (w. 852 H) رحمه الله mengatakan:
وشهرة إمامة الشيخ تقي الدين أشهر من الشمس ، وتلقيبه بـ ” شيخ الإسلام ” في عصره باق إلى الآن على الألسنة الزكية ، ويستمر غداً كما كان بالأمس ، ولا ينكر ذلك إلا من جهل مقداره ، أو تجنب الإنصاف
“Masyhurnya keimaman Asy-Syaikh Taqiyyuddin (Ibnu Taimiyyah) lebih terang dari matahari (di siang bolong). Para ulama yang mulia di zamannya telah memberikan gelar “Syaikhul Islam” pada beliau hingga kini. Bahkan gelar “Syaikhul Islam” akan terus melekat pada diri beliau hingga hari esok seperti hari kemarin. Tidak ada yang mengingkari hal tersebut kecuali orang yang tidak tahu kedudukan beliau atau orang yang jauh dari sikap adil (inshaf). (Raddul-Wafir)
Al-Imam Adz-Dzahabi (w. 748 H) رحمه الله mengatakan:
هو شيخنا ، وشيخ الإسلام ، وفريد العصر ، علماً ، ومعرفة ، وشجاعة ، وذكاء ، وتنويراً إلهيّاً ً، وكرماً ، ونصحاً للأمَّة، وأمراً بالمعروف ، ونهياً عن المنكر ، سمع الحديث ، وأكثر بنفسه من طلبه وكتابته ، وخرج ، ونظر في الرجال، والطبقات ، وحصَّل ما لم يحصله غيره
“Beliau adalah syaikh kami, Syaikhul Islam, termasuk ulama yang langka di zamannya dalam ilmu, ma’rifah, keberanian, kecerdasan, cahaya ilahi, kemuliaan, semangat beliau dalam memberikan nasehat pada umat dan dalam hal amar ma’ruf nahi munkar. Beliau lebih banyak mendengar daripada mencari dan menulis hadits, meneliti para perawi hadits dan thabaqat-nya. Beliau mendapatkan ilmu yang tidak didapatkan oleh orang-orang selain beliau. Beliau juga menguasai ilmu Tafsir Al-Qur’an dan mendalami makna-makna yang terkandung di dalamnya secara detail.” (Thabaqat Hanabilah)
“Dan berbuat baiklah, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yg berbuat baik” (Al-Baqarah: 195)
Berbuat baik kepada sesama dapat dengan perbuatan yg nampak ataupun tidak nampak, baik dengan penghormatan, dengan harta, ataupun dengan nasihat ataupun yg lainnya.
Karena sesungguhnya seorang hamba yg berbuat baik kepada hamba Allah lainnya akan mendapat ganjaran dari Allah dengan lapangnya hati, dimudahkannya segala urusannya, diperbaiki urusan dan hartanya.
“Barang siapa yang meringankan seorang mukmin dari suatu kesulitan dunia, maka Allah akan meringankannya dari suatu kesulitan pada hari Kiamat. Barang siapa yang memberi kemudahan kepada orang yang berada dalam kesulitan, maka Allah akan memberikan kemudahan di dunia dan akhirat. Barang siapa yang menutupi aib seorang muslim, maka Allah akan menutup aibnya di dunia dan akhirat. Allah akan selalu menolong hamba-Nya selama hamba tersebut menolong saudaranya sesama muslim” (HR. Muslim no. 2699)
Maka orang yg menolong, memberikan bantuan, dan menutupi kebutuhan mereka merupakan diantara sebab-sebab yg besar untuk mendapatkan hati yg lapang.
Adapun seorang yg pelit dalam berbuat baik, serta sangat pelit dalam memberikan sesuatu. Maka orang tersebut merupakan orang yg sangat sempit hatinya
Nabi ﷺ membuat perumpaan terhadap orang yg seperti itu
“Perumpamaan orang bakhil dengan orang yang pandai berinfak adalah seperti dua orang yang masing-masing mengenakan baju jubah terbuat dari besi yang hanya menutupi buah dada hingga tulang selangka keduanya. Adapun orang yang pandai berinfak, tidaklah dia berinfak melainkan bajunya akan melonggar atau menjauh dari kulitnya hingga akhirnya menutupi seluruh badannya sampai kepada ujung kakinya. Sedangkan orang yang bakhil, setiap kali ia tidak mau berinfak dengan suatu apapun, maka baju besinya akan menyempit, sehingga menempel ketat pada setiap kulitnya. Dan ketika ia mencoba untuk melonggarkannya, maka tak dapat melakukannya. (HR. Bukhori no. 1443)
Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin حفظه الله menjelaskan bahwa di antara sebab yang kelima meraih hati yang lapang ialah merutinkan berdzikir
Sesungguhnya merutinkan berdzikir merupakan sebab terbesar untuk meraih lapangnya hati, tenangnya jiwa, hilangnya kesedihan serta kegelisahan, dan tidak akan lenyap kesusahan melainkan dengan berdzikir kepada Allah.
“(Yaitu) orang-orang yg beriman dan hati mereka menjadi tenang dengan berdzikir kepada Allah. Hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang” (Ar-Ra’du: 28)
Maka sudah sepatutnya bagi seorang hamba memperbanyak dzikir kepada Allah ta’ala dalam setiap hal keadaan.
Wahai orang-orang yang beriman! Ingatlah kepada Allah, dengan mengingat (nama-Nya) sebanyak-banyaknya, dan bertasbihlah kepada-Nya pada waktu pagi dan petang. (Al-Ahzab: 41-42)
Dan lawannya berdzikir ialah sikap lalai, yaitu yang menjadikan hati menjadi gelap, kesedihan di dalam dada, dan kesulitan di dalam kehidupan. Oleh karena itu, Nabi ﷺ bersabda,
“Permisalan orang yang mengingat Rabb-nya dengan orang yang tidak mengingat Rabb-nya seperti orang yang hidup dengan yang mati.” (HR. Bukhori no. 6407)
“Dan sungguh, Kami mengetahui bahwa dadamu menjadi sempit disebabkan apa yang mereka ucapkan, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan jadilah engkau di antara orang yang bersujud” (Al-Hijr: 97-98)
Syaikh As-Sa’di menafsirkan
أكثر من ذكر الله وتسبيحه وتحميده والصلاة فإن ذلك يوسع الصدر ويشرحه ويعينك على أمورك
memperbanyak dzikir, bertasbih, bertahmid dan sholat, maka semua hal tsb akan melapangkan hati, menenangkan hati dan memperbaiki urusan anda
Syaikh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin حفظه الله menyebutkan bahwa di antara sebab-sebab meraih lapangnya hati yang keempat ialah kembali kepada Allah ta’ala, menghadap-Nya dengan kebaikan, dan berusaha merasakan nikmatnya beribadah dan menjalankan ketaatan kepada-Nya.
فإن الطاعة و العبادة راحة القلوب، أنْس النفوس و قرّة العيون و سعادة الصدور
“Sesungguhnya melakukan ketaatan dan ibadah itu mengistirahatkan hati, menghibur jiwa, menyejukkan pandangan dan membahagiakan hati”
Hal ini sebagaimana yang Nabi ﷺ sebutkan tentang sholat. Nabi ﷺ bersabda kepada Bilal radhiallaahu’anhu,
يَا بِلَالُ أَقِمْ الصَّلَاةَ أَرِحْنَا بِهَا
“Wahai Bilal, tegakkanlah shalat (adzanlah), istirahatkanlah kita dengan sholat” (HR. Abu daud no. 4985)
Dan hadist Nabi ﷺ,
جُعِلَتْ قُرَّةُ عَيْنِي فِي الصَّلَاةِ
“Dijadikan penyejuk pandanganku di dalam sholat” (HR. An-Nasa’i no. 3940)
Syaikh Abdurrazaq bin Abdul Muhsin al-Badr menjelaskan bahwa setiap ilmu pengetahuan seorang hamba dari ilmu syar’i yg terdapat di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah maka akan menambah lapangnya hati seorang hamba dan menambah baik keadaanya.
Maka ilmu (syar’i) di dalamnya terdapat kemuliaan, kebahagiaan, kesuksesan dunia-akhirat, dan cahaya serta sinar yg menerangi jalan seorang hamba. Sebagaimana firman Allah ta’ala
Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya)? (Az-Zumar: 22)
Maka orang itu berada di atas cahaya yg Allah berikan kepadanya anugrah dan keutamaan. Cahaya ini ialah cahaya keimanan. Maka cahaya ini menjadikan hati luas dan lapang. Apabila cahaya ini dihilangkan dari hati seorang hamba, maka hati menjadi sempit dan gelisah.
Al hafizh Ibn Rajab mengatakan
فالقلب الذي دخله نور الإمان و انشرح به و انفسح، يسكن للحق، و يطمئن به، و يقبله، و ينفر عن الباطل و يكرهه، و لا يقبله
Maka hati yang cahaya iman telah masuk ke dalamnya, akan merasakan kebahagiaan serta menjadi lapang karena cahaya iman, menjadi tentram, tenang, menerima kebenaran dan hati tsb akan lari dari kesesatan, membencinya dan menolaknya.
Oleh sebab itu, sudah sepantasnya bagi setiap hamba yg mendambakan cahaya ini dan mengharapkan Allah agar menjadikan dirinya termasuk orang yg diberikan kemuliaan dengan cahaya iman dan keutamaannya sebagaimana firman Allah ta’ala,
Akan tetapi, Allah menjadikan kamu “cinta” kepada keimanan dan menjadikan keimanan itu indah di dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus, Sebagai karunia dan nikmat dari Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Al-Hujurat: 7-8)
*Maka mintalah kepada Allah untuk memperbaharui keimanan di dalam hati agar semakin bertambah kesempatan memperoleh cahaya ini.*
Rasulullaah ﷺ bersabda,
إن الإيمان ليخلق في جوف أحدكم كما يخلق الثوب فاسألوا الله أن يجدد الإيمان في قلوبكم
Sesungguhnya iman benar-benar bisa menjadi usang di dalam tubuh seseorang dari kalian sebagaimana usangnya pakaian. Maka memohonlah kepada Allah supaya memperbarui iman di hati kalian (HR. Thabrani, dan Al-Hakim)