Syarat Diterimanya Amal Ibadah
Beribadah kepada Allah Ta’ala merupakan tujuan dari diciptakannya seorang hamba. Suatu amalan tidak akan diterima kecuali dengan memenuhi syarat-syarat yang ada. Oleh karena itu, sudah sepantasnya kita memperhatikan setiap amal ibadah yang kita lakukan apakah telah terpenuhi dari syarat diterimanya suatu ibadah?
di antara syarat diterimanya suatu amalan ibadah di sisi Allah Ta’ala ada dua, yaitu:
1. Ikhlas
Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاء
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta’atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus” (Al-Bayyinah [98]: 5)
فَاعْبُدِ اللَّهَ مُخْلِصًا لَّهُ الدِّينَ
“Maka sembahlah Allah dengan memurnikan keta’atan kepada-Nya.” (Az-Zumar [39]: 2)
Dua ayat di atas menjelaskan bahwasanya dalam beribadah kepada Allah Ta’ala harusnya dengan memurnikan ketaatan (ikhlas) kepada-Nya semata.
2. Ittiba’ (Mengikuti Contoh)
Nabi shallallahu’alaihi wa sallam pernah bersabda,
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
“Siapa yang membuat perkara baru dalam urusan kami ini yang tidak ada perintahnya maka perkara itu tertolak” (HR. Bukhari 2499/2697)
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa mengamalkan suatu perkara yang tidak kami perintahkan, maka ia tertolak” (HR. Muslim 3243)
Berdasarkan hadist tersebut, dapatlah diketahui bahwasanya jika seorang hamba mengamalkan suatu yang sekiranya dianggapnya adalah ibadah yang untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala, padahal tidak pernah diperintahkan atau tidak dicontohkan oleh Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, maka amalan tersebut akan tertolak.
Ibnu Katsir rahimahullah, seorang ulama ahli tafsir pernah mengatakan tatkala menafsirkan firman Allah Ta’ala,
فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, maka hendaklah ia mengerjakan amal shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Rabbnya.” (Al-Kahfi [18]: 110)
فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ أَيْ: ثَوَابَهُ وَجَزَاءَهُ الصَّالِحَ، {فَلْيَعْمَلْ عَمَلا صَالِحًا}، مَا كَانَ مُوَافِقًا لِشَرْعِ اللَّهِ {وَلا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا} وَهُوَ الَّذِي يُرَادُ بِهِ وَجْهُ اللَّهِ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَهَذَانَ رُكْنَا الْعَمَلِ الْمُتَقَبَّلِ. لَا بُدَّ أَنْ يَكُونَ خَالِصًا لِلَّهِ، صوابُا عَلَى شَرِيعَةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Barangsiapa yang mengharap perjumpaan dengan Rabbnya, yaitu pahala dan balasannya yang baik. Maka hendaklah dia beramal shalih, yaitu amalan yang sesuai syari’at Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Rabbnya, yaitu hendaklah (ikhlas) hanya mengharap wajah Allah saja tiada sekutu bagi-Nya.
Dua perkara ini (amal sesuai syari’at dan ikhlas) merupakan dua rukun amal yang diterima, yaitu harus ikhlas karena Allah Ta’ala dan sesuai syari’at Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam.” (Tafsir Ibnu Katsir, 5/205)