Shalat seorang tidak akan sah apabila tidak menegakkan salah satu dari rukun shalat yang ada. Salah satu rukun shalat yang disebutkan di dalam kitab-kitab fiqih ialah membaca surat Al-Fatihah. Oleh sebab itu, sudah sepatutnya seorang memperhatikan surat Al-Fatihah yang akan dia baca. Di antara hal yang perlu diperhatikan ialah syarat-syarat di dalam membaca Al-Fatihah. Berikut ini merupakan syarat-syarat di dalam membaca Al-Fatihah:
1- التَّرْتِيْبُ
Tertib, membaca dari awal surat pertama Al-Fatihah yaitu dimulai dari بسم الله الرحمن الرحيم
2- الْمُوَالاَةُ
al-Muwaalah, membacanya tidak menyela di antara ayat Al-Fatihah dengan suatu kalimat. Adapun bacaan yang masih diperbolehkan untuk dibaca ialah: membaca aamiin, membaca ta’awudz ( أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ ), meminta rahmat, sujud tilawah, membetulkan bacaan imam.
3- مُرَاعَاةُ حُرُوْفِهَا
Menjaga huruf-hurufnya, tidak boleh kehilangan atau terluput satu meskipun satu huruf saja. Semisal huruf hamzah pada bacaan أنعمت, maka wajib mengulangi kalimat tersebut selama belum ruku’. Apabila tidak, maka sholatnya menjadi batal atau tidak sah.
4- مُرَاعَاةُ تَشْدِيْدَتِهَا
Menjaga tasydidnya, jika tidak dibaca huruf yang bertasydid maka menjadi batal bacaannya menjadi batal shalatnya. Namun, apabila bacaan atau huruf yang tidak bertasydid kemudian dibaca tasydid, maka tidak batal shalatnya. Kecuali apabila makna ayat menjadi berubah, maka menjadi batal secara mutlak.
5- أَنْ لاَ يَسْكُتَ سَكْتَةً طَوِيْلَةً، وَ لاَ قَصِيْرَةً يَقْصِدُ بِهَا قَطْعَ الْقِرَاءَةِ
Tidak berhenti dalam waktu yang lama atau sebentar dengan niatan memutus bacaan. Diam yang dibahas ini bermasalah jika sengaja tanpa ada uzur. Jika lupa, diam untuk mengingat ayat selanjutnya, atau karena gagap, maka diamnya masih diperbolehkan.
6- قِرَاءَةُ كُلِّ آيَاتِهَا، وَمِنْهَا الْبَسْمَلَةُ
Membaca seluruh ayatnya termasuk di antaranya basmalah.
7- عَدَمُ اللَّحْنِ الْمُخِلِّ بِالْمَعْنَى
Tidak adanya lahn (kesalahan) yang dapat merubah makna arti. Semisal AN’AMTA dibaca menjadi AN’AMTU atau AN’AMTI. Maka hal ini dapat merubah makna atau arti sehingga membatalkan shalat.
8- أَنْ تَكُوْنَ حَالَةَ الْقِيَامِ فِيْ الْفَرْضِ
Membaca dengan keadaan berdiri ketika shalat fardhu (wajib). Apabila ada kesulitan atau udzur tidak dapat berdiri, maka dibaca sesuai dengan kondisi saat itu.
9- أَنْ يُسْمِعَ نَفْسَهُ الْقِرَاءَةَ
dirinya sendiri dapat mendengar bacaannya. Hal ini jika tidak ada penghalang. Namun, jika ada penghalang, maka diangkat suaranya (sedikit dikeraskan) hingga sekiranya tidak ada penghalang niscaya ia dapat mendengarnya.
10- أَنْ لاَ يَتَخَلَّلَهَا ذِكْرٌ أَجْنَبِيٌّ
Tidak menyela dengan dzikir lainnya.
Penulis kita Nailur Rojaa-a bisyarhi Safiinatun Najaa-a menjelaskan bahwasanya syarat-syarat yang disebutkan merupakan syarat keabsahan surat Al-Fatihah yang dibaca. Apabila salah satunya tidak ditunaikan, maka tidak sah bacaan Al-Fatihahnya. Selain itu terdapat dua tambahan syarat sahnya membaca Al-Fatihah, yaitu:
- كونها بالعربية
Membacanya dengan lafazh arab, maka tidak boleh membacanya dengan bahasa terjemahan atau membaca artinya. - عدم الصرف
Niat membaca untuk sholat, tidak memalingkan niat kepada yang lain. Apabila membacanya ditujukan untuk wali fulan, maka bacaan Al-Fatihahnya haruslah diulang.
referensi
Nailur Rojaa-a bisyarhi Safiinatun Najaa-a, cet. Daar Adh-Dhiyaa-a, hal. 191