Apakah seorang istri diperbolehkan berkata tinggi dihadapan suaminya? bagaimana seharusnya sikap seorang istri tatkala berbicara kepada suaminya?
Di antara kebaikan di dalam rumah tangga di antaranya seorang istri berlemah lembut tatkala berbicara kepada suaminya dan berbicara dengan ucapan yg menimbulkan rasa kasih sayang. Ummu Darda radhiallaahu’anha berkata,
حَدَّثَنِي سَيِّدِي أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ دَعَا لِأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ قَالَ الْمَلَكُ الْمُوَكَّلُ بِهِ آمِينَ وَلَكَ بِمِثْلٍ
Sayyidi-ku telah menceritakan kepadaku bahwasanya ia mendengar Rasulullah ﷺ bersabda, “Barangsiapa yang mendoakan kebaikan bagi saudaranya (sesama muslim) yang berjauhan, melainkan malaikat akan berkata; ‘Amiin dan bagimu kebaikan yang sama. (HR. Muslim no. 2732)
Yang dimaksud Ummu Darda radhiallaahu’anha “sayyidi-ku” ialah suaminya, Abi Darda radhiallaahu’anhu. Ummu Darda radhiallaahu’anha memanggilnya dengan sebutan yg lembut
Istri dari Said bin Musayyib, seorang pembesar Tabi’in (muridnya sahabat Nabi ﷺ) berkata, “Tidaklah kami berbicara kepada suami kami melainkan semisal kami berbicara dengan ulil amri kami” (HR. Abu Nu’aim)
Maksudnya ialah para wanita di zaman tabi’in tatkala berbicara kepada suaminya itu seakan-akan berbicara kepada ulil amri mereka.
Dengan kata lain, mereka tidak akan meninggikan suara atau bahkan berkata lancang di hadapan suami. Sebagaimana tatkala berbicara kepada ulil amri.
Referensi:
Fiqhun Nikaahi wa ‘Usyroti baina Az-Zaujaini, cat. Dar Mirots Nabawi, hal. 139