Di antara salah satu ketentuan syar’i di dalam pergaulan suami istri ialah dengan melihat terhadap yang disukai dari pasangannya (lihatlah kebaikannya), jangan melihat kepada yang dibenci dari pasangannya. Dan memaklumi terhadap sesuatu yang dibenci dari pasangannya karena takdir yang memungkinkan. Akan tetapi, disertai dengan memperbaikinya.
Kehidupan rumah tangga yang baik tidak akan tegak kecuali dengan hal tersebut. Setiap masing-masing dari pasangan suami istri di dalam dirinya pastilah terdapat perkara yang disukai dan terdapat kekurangan. Oleh karena itu, setiap pasangan suami istti haruslah memahami hakikat hal ini dan membangun hubungan di atas hal ini.
Allah ta’ala berfirman,
فَإِن كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰ أَن تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
Dan bergaul-lah dengan mereka (istri) secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak (An-Nisa: 19)
Kebanyakan suami melihat istrinya dengan perkara yang ia benci. Akan tetapi, Allah menjadikan bagi sang suami kebaikan yang banyak di dalam diri istrinya. Dan seorang muslim tidaklah kosong dari kebaikan. Nabi ﷺ bersabda,
لَا يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ
Janganlah seorang Mukmin membenci wanita Mukminah, apabila ia membenci salah satu perangainya, niscaya dia akan ridha dengan tabiatnya yang lain. (HR. Muslim no. 1469)
Seorang lelaki mukmin janganlah membenci wanita mukminah. Sesungguhnya wanita mukminah tidaklah kosong dari kebaikan. Apabila seorang lelaki membenci salah satu tabiat dari wanita maka sungguh di dalam diri wanita tsb terdapat tabiat yang disukai, maka ridhailah tabiat lainnya dari wanita tsb. Di dalam hadits ini terdapat isyarat bahwa sesungguhnya bagi seorang mukmin memfokuskan terhadap apa yang dicintai di atas kebaikan.
(Demikian pula bagi seorang mukminah atau seorang istri hendaklah jangan melihat keburukan pasangannya. Akan tetapi, lihatlah kepada kebaikannya.)
Referensi:
فقه النكاح و العشرة بين الزوجين، ص. 100