Kekayaan Bukanlah Ukuran Kebahagiaan dan Kemuliaan Seseorang

0
34

Saat ini, tidak sedikit manusia yang beranggapan bahwa dengan banyaknya harta, dan kemewahan sebagai tolak ukur kebahagiaan hidup.

Padahal Allah ta’ala berfirman,

فَأَمَّا الْإِنسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ كَلَّا ۖ

“Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, maka dia akan berkata: “Tuhanku telah memuliakanku”. Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rezekinya maka dia berkata: “Tuhanku menghinakanku”. Sekali-kali tidak (demikian)” (Al-Fajr: 15-17)

Syaikh Shalih Fauzan menjelaskan bahwa sebagian manusia atau kebanyakannya mengukur kemuliaan seseorang disisi Allah apabila seorang diberikan dari bagian dunia, diberikan harta, banyak anak, kedudukan tinggi. Maka mereka mengatakan, “ini adalah bentuk kemuliaan dari Allah, dan ini adalah bentuk kebahagiaan”

Adapun orang yang berada dalam kefakiran, kebutuhan, kesempitan dari kehidupan. Maka mereka mengatakan, “ini adalah ketidakbahagiaan, kehinaan dari Allah Azza wa Jalla”

Maka, kekayaan bukanlah dalil atas kemuliaan seorang di sisi Allah, dan kefakiran bukanlah dalil atas kehinaan seorang di sisi Allah ta’ala.

Oleh karena itu, Allah ta’ala menjauhkan dunia dari para wali-wali Allah, dan melindungi mereka dari dunia. Sebagaimana seorang dokter melindungi pasiennya dari makanan dan minuman yang dapat memudhorotkan pasien tsb.

Dan adalah Rasulullaah ﷺ seutama-utama dari kalangan Rasul, Makhluk yang paling sempurna dan paling utama pernah mengikat batu di perutnya karena kelaparan, dan pernah kelaparan sehari, kenyang sehari padahal dia (Rasulullaah ﷺ makhluk paling mulia di hadapan Allah.

Sementara di sana terdapat orang-orang kafir dan musyrikin yang hidup dalam kemewahan bersenang-senang di dunia, dan mereka adalah makhluk yang paling celaka di sisi Allah.

Maka dunia bukanlah ukuran selama-lamanya, yang menjadi ukuran adalah agama.

Tetapi banyak dari manusia yang hati-hati mereka bergantung mencintai dunia, dan tidak bergantung mencintai agama dan akhirat. Maka di sisi mereka ukuran kebahagiaan adalah kemewahan, kekayaan, dan kedudukan tinggi. Adapun ukuran kesengsaraan adalah kefakiran, dan banyaknya kebutuhan (serba kekurangan).

Syaikh Taqiyuddin Al-Maqrizi Asy-Syafi’i (766 – 854 H) mengatakan

فإنه – سبحانه – يوسع على الكافر لا لكرامته، ويُقتّر على المؤمن لا لهوانه عليه

Maka sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala meluaskan (rizki/ harta) terhadap orang kafir bukanlah untuk memuliakannya. Dan Allah membatasi (rizki/ harta) terhadap orang mukmin bukanlah untuk menghinakannya.

Kemudian Syaikh Abdul Aziz Ar-rajihi menjelaskan bahwa apabila Allah membatasi dan menyempitkan rizki kepada seorang mukmin bukanlah sebagai kehinaan terhadap dirinya. *Maka sesungguhnya dunia bukanlah ukuran (tolak ukur)*, dan orang kafir Allah berikan harta bukanlah sebagai kemulian terhadap dirinya.

Rasulullaah ﷺ bersabda,

لَوْ كَانَتْ الدُّنْيَا تَعْدِلُ عِنْدَ اللَّهِ جَنَاحَ بَعُوضَةٍ مَا سَقَى كَافِرًا مِنْهَا شَرْبَةَ مَاءٍ

“Seandainya dunia itu di sisi Allah sebanding dengan sayap nyamuk tentu Allah tidak mau memberi orang orang kafir walaupun hanya seteguk air” (HR. Tirmdzi no. 2320)

Referensi

– افادة المستفيد شرح تجريد التوحيد المفيد، (ص. ١٤٦ – ١٤٧)
– فتح الربّ الحميد شرح تجريد التوحيد المفيد، (ص. ٣٠٠ – ٣٠١)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here